Keterbatasan kemampuan masyarakat miskin dalam mengelola bantuan, aksesbilitas pemasaran, kualitas hasil usaha, dan cara berusaha; harus dibantu dengan suatu mekanisme pendampingan oleh lembaga-lembaga usaha sosial ekonomi yang ada didalam masyarakat, terutama yang sudah terorganisir dengan baik, mempunyai jaringan usaha yang luas dan mampu meningkatkan kemampuan usaha dan memberikan jaminan akses pasar kepada kelompok usaha ekonomi bersama. Oleh karena itu, penataan infrastruktur sosial ekonomi di tingkat lokal menjadi strategis pada masa yang akan datang, seperti menghadirkan Lembaga Keuangan Mikro yang fleksibel ditengah-tengah kehidupan masyarakat, sehingga KUBE fakir miskin dapat memperoleh kemudahan akses modal usaha.
Implementasi kebijakan dan program pemerintah yang mengatasnamakan pemberdayaan masyarakat pada era otonomi daerah, umumnya masih merupakan adopsi dari struktur dan mekanisme program pusat pada masa sebelum era otonomi daerah diberlakukan. Ciri-ciri pelaksanaan program meliputi jangkauan pelayanan yang terbatas, masih didasarkan pada petunjuk pelaksanaan/ petunjuk teknis yang kaku, kurang memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk terlibat dalam proses perencanaan dan evaluasi, setiap tahap kegiatan didominasi oleh peran petugas pemerintah, serta orientasi keberhasilan program masih terbatas pada pencapaian target fisik/ administratif. Akibatnya berbagai masalah dihadapi oleh para pengelola program, seperti macetnya pengguliran dana, penyalahgunaan kewenangan, bantuan tidak sampai sasaran, dan tidak berkembangnya usaha ekonomi produktif penerima layanan karena tidak sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Dalam kondisi manajemen pelaksanaan program sedemikian rupa, lingkungan strategis pembangunan kesejahteraan sosial telah berubah seiring dengan pemberlakuan otonomi daerah, baik hal-hal yang berkaitan dengan struktur maupun fungsi kelembagaan pusat dan daerah. Karena itu, reposisi sektor kesejahteraan sosial dan reformasi paradigma serta strategi pemberdayaan fakir miskin harus merupakan komitmen bersama antara pusat dengan daerah. Pemahaman yang beragam antara pusat dengan daerah tentang kebijakan,
Strategi penanganan, penggalian sumber, penetapan kelembagaan, penjabaran program, pengembangan jareingan kerja, pengembangan SDM, dan dimensi-dimensi strategis lainnya; menunjukkan perlunya penataan kembali strategi dan manajemen pemberdayaan fakir miskin secara menyeluruh
Dalam hal peningkatan kemampuan fakir miskin ini, maka kemajuan ekonomi yang dicapai oleh fakir miskin melalui usaha ekonomi produktif, haruslah seiring dengan kemajuan sosialnya. Seperti kamampuan daya beli, akses pendidikan dasar, akses pelayanan kesehatan, dan perubahan sikap perilaku ke arah positif. Oleh karena itu, untuk meningkatkan keterpaduan antara usaha ekonomi produktif dan usaha kesejahteraan sosial dalam Program Pemberdayaan Fakir Miskin dibutuhkan pendampingan sosial melalui pendekatan pekerjaan sosial secara profesional, sehingga usaha kesejahteraan sosial bagi keluarga fakir miskin dapat semakin ditingkatkan.
Penanganan masalah kemiskinan adalah prioritas pembangunan nasional dan dilaksanakan secara bersama-sama antara pemerintah (Departemen Sosial RI dan instansi sektor lainnya) dengan Pemerintah Daerah, Masyarakat (Organisasi Non Pemerintah/ Organisasi Sosial/ Lembaga Swadaya Masyarkat, Dunia Usaha dan perbankan) baik dalam maupun luar negeri. Untuk itu, tantangannya adalah bagaimana membangun sistem kemitraan dengan masyarakat dan instansi terkait dalam penanggulangan kemiskinan?.
Dalam era otonomi daerah, pelaksanaan program pembangunan kesejahteraan sosial, termasuk dalam program pemberdayaan fakir miskin lebih bernuansa pada pendekatan partisipatif yang melibatkan masyarakat, dunia usaha dan pemerintah daerah. Implikasinya adalah bahwa kebijakan, strategi dan program pemberdayaan fakir miskin dan pemberdayaan fakir miskin umumnya yang bertumpu pada pemberdayaan potensi lokal menjadi strategis pada masa yang akan datang
Implementasi kebijakan dan program pemerintah yang mengatasnamakan pemberdayaan masyarakat pada era otonomi daerah, umumnya masih merupakan adopsi dari struktur dan mekanisme program pusat pada masa sebelum era otonomi daerah diberlakukan. Ciri-ciri pelaksanaan program meliputi jangkauan pelayanan yang terbatas, masih didasarkan pada petunjuk pelaksanaan/ petunjuk teknis yang kaku, kurang memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk terlibat dalam proses perencanaan dan evaluasi, setiap tahap kegiatan didominasi oleh peran petugas pemerintah, serta orientasi keberhasilan program masih terbatas pada pencapaian target fisik/ administratif. Akibatnya berbagai masalah dihadapi oleh para pengelola program, seperti macetnya pengguliran dana, penyalahgunaan kewenangan, bantuan tidak sampai sasaran, dan tidak berkembangnya usaha ekonomi produktif penerima layanan karena tidak sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Dalam kondisi manajemen pelaksanaan program sedemikian rupa, lingkungan strategis pembangunan kesejahteraan sosial telah berubah seiring dengan pemberlakuan otonomi daerah, baik hal-hal yang berkaitan dengan struktur maupun fungsi kelembagaan pusat dan daerah. Karena itu, reposisi sektor kesejahteraan sosial dan reformasi paradigma serta strategi pemberdayaan fakir miskin harus merupakan komitmen bersama antara pusat dengan daerah. Pemahaman yang beragam antara pusat dengan daerah tentang kebijakan,
Strategi penanganan, penggalian sumber, penetapan kelembagaan, penjabaran program, pengembangan jareingan kerja, pengembangan SDM, dan dimensi-dimensi strategis lainnya; menunjukkan perlunya penataan kembali strategi dan manajemen pemberdayaan fakir miskin secara menyeluruh
Dalam hal peningkatan kemampuan fakir miskin ini, maka kemajuan ekonomi yang dicapai oleh fakir miskin melalui usaha ekonomi produktif, haruslah seiring dengan kemajuan sosialnya. Seperti kamampuan daya beli, akses pendidikan dasar, akses pelayanan kesehatan, dan perubahan sikap perilaku ke arah positif. Oleh karena itu, untuk meningkatkan keterpaduan antara usaha ekonomi produktif dan usaha kesejahteraan sosial dalam Program Pemberdayaan Fakir Miskin dibutuhkan pendampingan sosial melalui pendekatan pekerjaan sosial secara profesional, sehingga usaha kesejahteraan sosial bagi keluarga fakir miskin dapat semakin ditingkatkan.
Penanganan masalah kemiskinan adalah prioritas pembangunan nasional dan dilaksanakan secara bersama-sama antara pemerintah (Departemen Sosial RI dan instansi sektor lainnya) dengan Pemerintah Daerah, Masyarakat (Organisasi Non Pemerintah/ Organisasi Sosial/ Lembaga Swadaya Masyarkat, Dunia Usaha dan perbankan) baik dalam maupun luar negeri. Untuk itu, tantangannya adalah bagaimana membangun sistem kemitraan dengan masyarakat dan instansi terkait dalam penanggulangan kemiskinan?.
Dalam era otonomi daerah, pelaksanaan program pembangunan kesejahteraan sosial, termasuk dalam program pemberdayaan fakir miskin lebih bernuansa pada pendekatan partisipatif yang melibatkan masyarakat, dunia usaha dan pemerintah daerah. Implikasinya adalah bahwa kebijakan, strategi dan program pemberdayaan fakir miskin dan pemberdayaan fakir miskin umumnya yang bertumpu pada pemberdayaan potensi lokal menjadi strategis pada masa yang akan datang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar