Wakaf merupakan salah satu lembaga sosial ekonomi Islam yang potensinya belum sepenuhnya digali dan dikembangkan. Potensi wakaf, terutama wakaf tunai produktif dapat digunakan sebagai alternatif pendanaan pada masjid dan pondok pesantren dalam rangka menuju kemandirian finansial yang bermuara pada kemaslahatan umat.
Umat Islam di Indonesia telah akrab dengan kata wakaf. Akan tetapi, keakraban tersebut tidak membuat mereka mengerti benar tentang wakaf. Hingga kini, mereka beranggapan bahwa wakaf hanyalah berupa masjid dan kuburan. Padahal wakaf telah mengalami perkembangan, dan tampil dalam wujud lain, wakaf produktif atau wakaf tunai. Wakaf tak hanya kuburan dan masjid namun potensi wakaf bisa dikembangkan untuk hal produktif yang akan memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat luas.
Bagi umat Islam Indonesia, wacana wakaf tunai produktif memang masih relative baru. Bisa dilihat dari peraturan yang melandasinya. Majelis Ulama Indonesia (MUI) baru memfatwakannya pertengahan Mei 2002. Selama ini, wakaf yang populer di kalangan umat Islam Indonesia terbatas tanah dan bangunan yang diperuntukkan tempat ibadah, rumah sakit dan pendidikan.
Potensi wakaf tunai di Indonesia diperkirakan cukup besar. Musthafa Edwin Nasution mengatakan bahwa potensi wakaf tunai yang bisa dihimpun dari 10 juta penduduk muslim adalah sekitar Rp 3 triliun per tahun. Hal yang senada disampaikan pula oleh Dian Masyita Telaga. Potensi wakaf tunai yang bisa dihimpun di Indonesia mencapai Rp 7,2 triliun dalam setahun dengan asumsi jumlah penduduk muslim 20 juta dan menyisihkan Rp 1.000 per hari atau Rp 30.000 tiap bulannya. Sedemikian besarnya potensi yang dikandung, maka pengelolaan secara tekun, amanah, profesional dan penuh komitmen tentu akan mampu melepaskan ketergantungan Indonesia terhadap utang luar negeri yang telah menggunung hingga kini. Dengan pengelolaan wakaf tunai, Indonesia tidak perlu lagi berutang kepada lembaga-lembaga kreditor multilateral sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunannya, karena dana wakaf tunai sendiri telah mampu melengkapi penerimaan negara di samping pajak, zakat dan pendapatan lainnya. Melalui berbagai pemikiran dan kajian, peran wakaf tunai tidak dalam pelepasan ketergantungan ekonomi dari lembaga-lembaga kreditor multilateral semata, instrumen ini juga mampu menjadi komponen pertumbuhan ekonomi.
Sebagai negara yang berpenduduk mayoritas muslim, eksistensi instrumen syariah ini akan sangat acceptable sehingga wakaf tunai diperkirakan akan memberikan kontribusi besar bagi percepatan pembangunan di Indonesia. Dari perspektif teori ekonomi makro, instrumen wakaf bisa dimasukkan ke dalam instrumen fiskal yaitu sebagai sumber penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Atau bisa pula dimasukkan ke dalam kategori investasi jika pengeluaran untuk wakaf tidak dikelola oleh pemerintah tetapi oleh badan-badan usaha milik swasta. Pendapatan nasional dipengaruhi oleh konsumsi rumah tangga, pengeluaran untuk investasi oleh badan-badan usaha, pengeluaran pemerintah dan net export (ekspor bersih). Investasi adalah fungsi dari tingkat bunga dan pengeluaran untuk wakaf tunai. Sedangkan pengeluaran pemerintah merupakan fungsi dari wakaf tunai serta penerimaan pajak sehingga perubahan pada investasi atau pengeluaran pemerintah akan mengubah pula posisi pendapatan nasional.
Pertambahan investasi atau peningkatan pengeluaran pemerintah akan menggeser kurva IS ke kanan. Akibatnya adalah peningkatan pendapatan nasional dengan asumsi ceteris paribus. Peningkatan pendapatan nasional merupakan satu langkah maju menuju pemeratan pembangunan dan hasil-hasilnya.
Jika ditelaah secara cermat, maka dapat disimpulkan bahwa potensi zakat dan wakaf di Indonesia sangatlah besar. Berdasarkan data yang ada, potensi zakat di negeri ini mencapai 7 trilliun setiap tahunnya. Belum lagi ditambah dengan potensi wakaf, terutama wakaf tunai, yang dapat digunakan untuk melakukan berbagai aktivitas yang produktif, termasuk mengentaskan problematika kemiskinan di Indonesia.
Wakaf tunai tidak hanya memberi kesempatan beramal pada orang – orang kaya saja. Wakaf tunai akan memperbesar kesempatan bagi siapa pun untuk berwakaf. Tak harus menunggu mereka sampai menjadi saudagar kaya atau tuan tanah, karena wakaf tunai jumlahnya bisa variatif. Bila wakaf dalam bentuk bangunan atau rumah membutuhkan dana besar atau melibatkan segelintir orang saja, wakaf tunai produktif bisa menjangkau lapisan menengah. Kita bisa menyerahkan uang senilai Rp 500 ribu, Rp 1 juta atau lebih. Dari segi jumlah tentu tak terlalu besar. Namun, banyak kalangan menengah bisa melakukannya ketimbang menyumbangkan sebuah bangunan.
Perolehan wakaf tunai pun bisa jadi lebih besar. Bila ada sepuluh juta orang mampu mewakafkan Rp 1 juta, nilai seluruhnya mencapai Rp 10 triliun. Dengan dana sebesar itu maka banyak hal yang bisa dilakukan umat Islam. Dana wakaf bisa digunakan untuk mendirikan perusahaan, pusat perbelanjaan, perkebunan, atau apa saja yang bernilai ekonomis.
Kegiatan wakaf bagi sebagian besar kalangan Muslim di tanah air, masih terfokus pada tanah dan bangunan. Padahal secara filosofis harta wakaf tak semestinya didiamkan dan tidak memberikan hasil bermanfaat. Di atas pijakan filosofis ini, wakaf seharusnya menumbuhkan dampak kesejahteraan bagi mereka yang berhak menerimanya tanpa mengenal batas pula. Dana wakaf juga dapat menopang kesulitan keuangan di lembagalembaga pendidikan Islam. Pada akhirnya, membuat umat Islam mampu mengembangkan pendidikan yang mandiri.
Umat Islam di Indonesia telah akrab dengan kata wakaf. Akan tetapi, keakraban tersebut tidak membuat mereka mengerti benar tentang wakaf. Hingga kini, mereka beranggapan bahwa wakaf hanyalah berupa masjid dan kuburan. Padahal wakaf telah mengalami perkembangan, dan tampil dalam wujud lain, wakaf produktif atau wakaf tunai. Wakaf tak hanya kuburan dan masjid namun potensi wakaf bisa dikembangkan untuk hal produktif yang akan memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat luas.
Bagi umat Islam Indonesia, wacana wakaf tunai produktif memang masih relative baru. Bisa dilihat dari peraturan yang melandasinya. Majelis Ulama Indonesia (MUI) baru memfatwakannya pertengahan Mei 2002. Selama ini, wakaf yang populer di kalangan umat Islam Indonesia terbatas tanah dan bangunan yang diperuntukkan tempat ibadah, rumah sakit dan pendidikan.
Potensi wakaf tunai di Indonesia diperkirakan cukup besar. Musthafa Edwin Nasution mengatakan bahwa potensi wakaf tunai yang bisa dihimpun dari 10 juta penduduk muslim adalah sekitar Rp 3 triliun per tahun. Hal yang senada disampaikan pula oleh Dian Masyita Telaga. Potensi wakaf tunai yang bisa dihimpun di Indonesia mencapai Rp 7,2 triliun dalam setahun dengan asumsi jumlah penduduk muslim 20 juta dan menyisihkan Rp 1.000 per hari atau Rp 30.000 tiap bulannya. Sedemikian besarnya potensi yang dikandung, maka pengelolaan secara tekun, amanah, profesional dan penuh komitmen tentu akan mampu melepaskan ketergantungan Indonesia terhadap utang luar negeri yang telah menggunung hingga kini. Dengan pengelolaan wakaf tunai, Indonesia tidak perlu lagi berutang kepada lembaga-lembaga kreditor multilateral sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunannya, karena dana wakaf tunai sendiri telah mampu melengkapi penerimaan negara di samping pajak, zakat dan pendapatan lainnya. Melalui berbagai pemikiran dan kajian, peran wakaf tunai tidak dalam pelepasan ketergantungan ekonomi dari lembaga-lembaga kreditor multilateral semata, instrumen ini juga mampu menjadi komponen pertumbuhan ekonomi.
Sebagai negara yang berpenduduk mayoritas muslim, eksistensi instrumen syariah ini akan sangat acceptable sehingga wakaf tunai diperkirakan akan memberikan kontribusi besar bagi percepatan pembangunan di Indonesia. Dari perspektif teori ekonomi makro, instrumen wakaf bisa dimasukkan ke dalam instrumen fiskal yaitu sebagai sumber penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Atau bisa pula dimasukkan ke dalam kategori investasi jika pengeluaran untuk wakaf tidak dikelola oleh pemerintah tetapi oleh badan-badan usaha milik swasta. Pendapatan nasional dipengaruhi oleh konsumsi rumah tangga, pengeluaran untuk investasi oleh badan-badan usaha, pengeluaran pemerintah dan net export (ekspor bersih). Investasi adalah fungsi dari tingkat bunga dan pengeluaran untuk wakaf tunai. Sedangkan pengeluaran pemerintah merupakan fungsi dari wakaf tunai serta penerimaan pajak sehingga perubahan pada investasi atau pengeluaran pemerintah akan mengubah pula posisi pendapatan nasional.
Pertambahan investasi atau peningkatan pengeluaran pemerintah akan menggeser kurva IS ke kanan. Akibatnya adalah peningkatan pendapatan nasional dengan asumsi ceteris paribus. Peningkatan pendapatan nasional merupakan satu langkah maju menuju pemeratan pembangunan dan hasil-hasilnya.
Jika ditelaah secara cermat, maka dapat disimpulkan bahwa potensi zakat dan wakaf di Indonesia sangatlah besar. Berdasarkan data yang ada, potensi zakat di negeri ini mencapai 7 trilliun setiap tahunnya. Belum lagi ditambah dengan potensi wakaf, terutama wakaf tunai, yang dapat digunakan untuk melakukan berbagai aktivitas yang produktif, termasuk mengentaskan problematika kemiskinan di Indonesia.
Wakaf tunai tidak hanya memberi kesempatan beramal pada orang – orang kaya saja. Wakaf tunai akan memperbesar kesempatan bagi siapa pun untuk berwakaf. Tak harus menunggu mereka sampai menjadi saudagar kaya atau tuan tanah, karena wakaf tunai jumlahnya bisa variatif. Bila wakaf dalam bentuk bangunan atau rumah membutuhkan dana besar atau melibatkan segelintir orang saja, wakaf tunai produktif bisa menjangkau lapisan menengah. Kita bisa menyerahkan uang senilai Rp 500 ribu, Rp 1 juta atau lebih. Dari segi jumlah tentu tak terlalu besar. Namun, banyak kalangan menengah bisa melakukannya ketimbang menyumbangkan sebuah bangunan.
Perolehan wakaf tunai pun bisa jadi lebih besar. Bila ada sepuluh juta orang mampu mewakafkan Rp 1 juta, nilai seluruhnya mencapai Rp 10 triliun. Dengan dana sebesar itu maka banyak hal yang bisa dilakukan umat Islam. Dana wakaf bisa digunakan untuk mendirikan perusahaan, pusat perbelanjaan, perkebunan, atau apa saja yang bernilai ekonomis.
Kegiatan wakaf bagi sebagian besar kalangan Muslim di tanah air, masih terfokus pada tanah dan bangunan. Padahal secara filosofis harta wakaf tak semestinya didiamkan dan tidak memberikan hasil bermanfaat. Di atas pijakan filosofis ini, wakaf seharusnya menumbuhkan dampak kesejahteraan bagi mereka yang berhak menerimanya tanpa mengenal batas pula. Dana wakaf juga dapat menopang kesulitan keuangan di lembagalembaga pendidikan Islam. Pada akhirnya, membuat umat Islam mampu mengembangkan pendidikan yang mandiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar